Alhamdulillah.. tidak terasa per Mei 2024 sudah menjalani masa 13 tahun pekerjaan sebagai Sanitarian alias Tenaga Sanitasi Lingkungan.
Apakah ada suka yang dirasakan?? Sudah pasti. Sangaat banyak hal-hal baik dan menyenangkan yang aku rasakan. Antara lain kepuasan dalam hati saat pekerjaan berjalan dengan baik dan sesuai target. Kebahagian bisa mengenal berbagai macam sifat dan karakter manusia, dukungan dari teman sesama Sanitarian, teman sejawat, ibu-ibu kader binaan, Bapak/Ibu lintas sektoral yang selalu support. Juga atasan yang baik hati. Selain itu banyak pengalaman berharga yang didapat, yang otomatis bikin kita jadi tambah ilmu juga.
Apalagi kalau kita bisa mencapai prestasi di luar ekspektasi dan target. Itu sudah pasti jadi kebahagiaan tersendiri.
Naah.. selain suka pastinya ada juga duka yang kita rasakan. Gak mungkinkan hidup hanya merasa senang dan lurus-lurus aja.
Pengalaman gak enak yang kuanggap duka juga pernah kualami. Beberapa kali malahan, misalnya saat melakukan Inspeksi Kesehatan Lingkungan dan pembinaan TPM. Terkadang sambutan kurang ramah kami dapatkan saat berkunjung melakukan IKL. Kemungkinan mereka merasa curiga dan takut jika kedatangan kami seolah ingin memeras dan mencari kesalahan mereka agar bisa "diduitin".
Aku pengen sharing salah satu pengalaman buruk. Waktu itu ada salah satu Depot Air Minum Isi Ulang yang dikunjungi, awalnya saat baru datang masih baik-baik saja, disambut dengan ramah, pemiliknya menjawab pertanyaan dengan respon baik, tiba saatnya kita mengamati kebersihan sarana dan menyampaikan saran perbaikan, si bapaknya marah dan mengatakan hal-hal yang kurang baik, lanjut dengan melakukan pengusiran, padahal apa yang kami sarankan untuk perbaikan juga telah disampaikan dengan baik, secara kalimat dan intonasi juga baik-baik. Tapi rupanya sang pemilik tidak berkenan.
Kejadian serupa terjadi lagi di salah satu depot kelurahan lain. Si ibu pemilik tidak terima saat disampaikan kalau kebersihan keran pengisian sangat kurang, ibunya marah dan tidak terima, cuma kali ini gak sampai mengusir sih yaa. Intinya mereka tidak terima kalau diberi tahu apa yang menjadi kekurangan mereka, dan menolah saran perbaikan.
Upaya untuk melakukan pembinaan sudah dilakukan, tapi memang banyak kelemahan yang ada di pihak kita, karena hanya bisa menghimbau dan membina, sedangkan banyak pengelola bandel yang walaupun sarana TPM nya tidak memenuhi syarat masih tetap beroperasi dan berjualan.
Baru beberapa hari lalu, hal serupa terjadi lagi. Tapi bukan tentang IKL yaak.
Kali ini aku merasa ini adalah hal terburuk yang pernah kualami. Dan justru kudapatkan hal tidak baik ini dari sesama orang yang bekerja di instansi pemerintah.
Jumat malam aku terima informasi adanya kasus DBD melalui chatt wa. Saat itu juga langsung berkoordinasi dengan teman dari poskeskel dan menghubungi pak RT yang punya wilayah. Sabtu pagi langsung buat jadwal untuk turun melakukan Penyelidikan Epidemiologi. Kami janjian menuju ke rumah kasus, bertemu dengan orang tua dari pasien. Kami jelaskan tujuan kedatangan kami, tak lama langsung kami melakukan pengamatan jentik dan pengumpulan informasi kasus dbd lain atau suspect dbd di sekitar rumah kasus.
Tidak berselang lama datanglah kerabat dari pemilik rumah, seorang ibu yang jauh lebih dewasa, langsung tanya-tanya, siapa kami, apa tujuan kami dan lain-lain. Saya ulangi menjelaskan tujuan kedatangan kami dan apa saja yang akan kami lakukan.
Langsung ditodong dengan dengan pertanyaan "Kapan mau difogging?" Aku tetap berusaha jelaskan dengan baik bahwa tidak semua kasus DBD harus dilakukan Fogging. Terlihat ybs merasa tidak puas dan sedikit emosi, berupaya mengintimidasi dan sedikit membentak. Karena ybs terlihat jauh lebih tua dariku, tetap kuusahakan agar tidak terpancing emosi dan baik-baik menjelaskan, kulanjutkan dengan berkata "Biarkan kami melakukan PE dulu ya bu, agar diketahui hasilnya nanti, apakah perlu difogging atau tidak".
Akhirnya aku dan team melanjutkan kegiatan didampingi oleh pak RT. Kami berkeliling di rumah-rumah sekitar rumah kasus, melanjutkan pengamatan jentik di dalam dan luar rumah sambil mengumpulkan informasi jika ada kasus lain.
Singkat cerita, selesailah kegiatan PE ini. Kami kembali ke rumah kasus, tempat dimana kami parkir motor, sekaligus untuk menyampaikan hasil dari PE yang telah dilakukan.
Kedatangan kami langsung disambut seorang bapak, yang sepertinya jelas merupakan suami dari ibu yang tadi. Dari awal kami masuk, si bapak sudah terlihat emosi dan menyuruh kami duduk dengan intonasi tinggi. Langsung aku jelaskan apa hasil PE yang didapatkan dan kesimpulan dari hasil PE, si bapak tidak terima dan mulai mengatakan hal-hal yang merendahkan dan tidak mengenakkan. Mempertanyakan juknis dari mana, meremehkan keberadaan puskesmas dll.
Apapun yang berusaha kujelaskan tidak didengar bahkan mulai membentak-bentak saya. Tetap aku berusaha agar tidak terpancing emosi, apalagi hal yang kulakukan sudah sesuai prosedur dan SOP tindak lanjut kasus DBD.
Kesabaran mulai sedikit diuji saat si ibu tiba-tiba mulai mengambil video wajahku tanpa ijin. Sementara saat si bapak itu berkata dengan kalimat mengancam dan intimidasi aku ttp berusaha berkata dan bersikap baik.
Pak RT dan temanku dari poskeskel hanya bisa diam shock menyaksikan aku dibentak dan diancam. Tanpa mereka bisa membela dan berkata apapun.
Endingnya aku dan teman diusir sambil dibentak. Kami pun kembali ke puskesmas untuk melaporkan kejadian ini kepada atasan, dalam hal ini kepala TU yang masih ada di tempat.
Jujur saja, kalau tidak kuat menghadapi tekanan seperti ini, pengen rasanya mundur saja. Apalagi ternyata hal-hal yang kita lakukan tidak mendapat backup walau yang kita lakukan sudah benar, sesuai SOP dan sesuai juknis.
Bukan sekali dua kali kami sebagai orang lapangan menghadapi konflik dengan masyarakat, apalagi untuk urusan fogging.
Sampai akhirnya Sanitarian seperti kami masih harus mengumpulkan sabar dalam hati, sudah jadi konsekwensi dalam bekerja dan berhadapan dengan orang banyak.
Tapi sesungguhnya yang kami inginkan hanya support dan dukungan dari atasan, saat kami mengalami masalah, jangan kami dibiarkan sendirian, di saat kami harus menyampaikan upaya pemberantasan sarang nyamuk untuk pencegahan DBD, sangat disayangkan upaya edukasi yang kami lakukan, justru harus dimentahkan dengan kebijakan fogging, yang justru membentuk mindset masyarakat tentang cara pencegahan DBD.
Jadi semua usaha penyuluhan sampai lelah, hanya jadi kontradiksi saja. Ujungnya yang disalahkan oleh masyarakat adalah petugas yang ada di lapangan, seolah kami mempersulit keinginan mereka.
Oke deeh.. banyak-banyak istighfar aja, biar tetap kuat dan bisa bekerja dengan baik.
Next postingan kita bahas lagi tentang fogging, kenapa selalu jadi perdebatan yang tak habis-habisnya.